Judul : Sangiang Pandita
Penulis : Susan Arisanti
Penerbit :
Diva Press
Cetakan :
Cetakan Pertama, November 2019
Jumlah Halaman : 384 halaman, 14 x 20 cm
ISBN :
978-602-391-595-8
Genre : Romance Thriller
Sangiang Pandita, saat
pertama kali membaca judulnya saya merasa bingung, tidak memiliki gambaran
apapun tentang dua kata “ Sangiang Pandita”. Saat mulai membacanya, saya mulai
mengerti bahwa Sangiang Pandita adalah sebuah nama, meski masih terdengar asing
di telinga, tapi sebuah pilihan nama yang bagus ya.
Selain judulnya yang
unik, saya tertarik membaca novel ini karena pengarangnya. Apakah teman-teman
tahu Susan Arisanti? Saya sebenarnya juga nggak kenal secara pribadi sih, tapi
saya suka dengan tulisan-tulisannya. Nah, Sangiang Pandita ini masih ada hubungan
dengan novelnya yang pertama kali saya baca yaitu Luka yang Kau Tinggal Senja
Tadi.
Seperti jenis atau genre
novel ini yaitu romance thriller, tentu
saja alur ceritanya tidak hanya mellow mellow tentang urusan cinta atau baku
hantam yang mengerikan. Tetapi dari tokoh atau profesi yang dipakai si tokoh,
saya yakin Susan Arisanti mengenal baik ataupun melakukan riset yang sangat
baik dengan profesi yang diceritakannya.
Seperti tulisan–tulisannya
yang sudah saya baca (beberapa di antaranya saya habiskan di laman wattpadnya),
Susan Arisanti mempunyai ciri khas tersendiri, seperti profesi seorang Jenderal
atau mata-mata atau seperti agen FBI (Kalau di Indonesia namanya apa sih, kok
kudet ya saya) yang saya yakin jika jika
penulis sedikit saja melakukan kesalahan dalam pendeskrepsiannya, maka akan
mendapat teguran dari pihak atau departemen terkait. Selain profesi yang tidak
jauh dari kepolisian atau kemiliteran, Susan Arisanti juga selalu mengambil
sedikit atau banyak latar belakang pesantren atau kyai-kyai dan lingkunggannya,
juga ilmu-ilmu yang di ajarkan di sana. Beberapa yang dituliskan di sana antara
lain Imriti, tulisan Arab Pegon, Matan
Alfiyah, Nadham, nada jiharkah dan lain sebagainya.
Cinta, Militer,
Pesantren, itulah ciri khas tulisan Susan Arisanti, yang juga sangat kental
tertuang di dalam novel Sangiang Pandita. Dan Karakter yang diciptakan penulis
pun sangat mudah untuk dibuat jatuh cinta baik itu tokoh utama ataupun tokoh
antagonisnya. Karakternya sangat kuat dan mewakili apa yang ingin
disampaikannya.
Ini ngalor ngidul
terus ya dari tadi, jadi apa inti dari novel ini? Novel ini bercerita tentang
Sangiang Pandita, seorang guru di salah satu daerah OKU Timur. Sangiang
memiliki seorang buya yang gemar berjudi dan juga mabuk-mabukam. Eits…tunggu
dulu. Buya bukan hobinya seperti itu. Ternyata ada alasan kenapa Buyanya
melakukan ituu.
Buyanya Sangiang
adalah seorang yang dulunya kaya. Tetapi ketika Buyanya berbaik hati kepada
Guntur untuk menolongnya dari kemiskinan, justru Guntur dengan tamak membuat
semua usaha Buyanya, Pradigta, mengalami kehancuran. Saat ini hanya tinggal
kebun sawit yang juga dipinjamkan kepada Guntur untuk dikelola, ternyata
dimanfaatkan Guntur untuk ditanami ganja.
Disinilah Niam muncul,
dan sebagai seorang mata-mata yang memiliki hak penuh untuk membunuh siapapun
yang disuruh oleh departemennya untuk
dibunuh, Niam harus menyamar seorang designer untuk menemukan siapakah gembong
narkoba di OKU Timur. Disebuah tempat
perjudian antara Guntur dan Pradigta, Niam menemukan Sangiang yang malam itu
menjadi taruhan judi. Niam dan Sangiang yang sebenarnya sudah saling mengenal
sejak dulu, membuat Niam ingin menyelamatkan Sangiang dari incaran Guntur yang
memang menginginkannya. Di sinilah cerita di mulai.
Niam menikahi
Sangiang, meski Sangiang tak pernah tahu siapa sebenarrnya Niam dan alasan sesungguhnya.
Pradigta yang melakukan judi dengan Guntur yang memiliki alasan tertentu. Sepak
terjang Niam dalam memutus rantai pasokan Nakoba. 3 hal ini diramu dengan baik
oleh penulis, ditambah lagi dengan disisipkannya kebudayaan OKU TImur seperti
acara Ningkuk, yaitu acara pesta pernikahan di daerah OKU. Dalam acara Ningkuk
itu ada adat berbalas pantun, bagi warga suku OKU asli harus menggunakan bahasa
daerah mereka, tetapi bagi warga pendatang atau yang baru saja datang bisa
menggunakan bahasa Indonesia.
Apa yang menarik dari
novel ini? seperti yang saya tuliskan di atas, jika 3 hal yang diramu di atas
menjadikan konflik yang berlapis-lapiis. Jantung saya sendiri seperti berdetak
tak karuan, seperti naik rollr coaster karena suasana yang dibangun silih
berganti antara tegang, romantis, lucu, kesal dan juga bahagia.
Saya sendiri, saat
sudah masuk ke lembar-embar cerita tidak
mau menunda untuk membaca hingga esok hari. Saya menghabiskan waktu 2 jam lebih
untuk menyelesaikannya. Dan akhirnya saya sematkan poin 4/5 untuk novel ini.
Kalimat-kalimat yang
perlu diabadikan dan memberikan kesan tersendiri atas novel ini:
“Pantang bagi pohon pisang untuk berbuah dua
kali. Bagiku, seperti itulah pernikahan,” (Hal 136)
“Lepas saja kerudungmu.” Kata-kata itu membuat
Sangiang menatap Niam. “Buat apa kamu berkerudung jika masih menampilkan lekuk
tubuh? Kamu saja tidak bisa menghargai dirimu, bagaimana bisa orang lain bisa
menghargaimu?” ( hal 143)
“Lathifa, aku mencintai Euis karena melihat
Tuhan dalam dirinya. Aku bisa meninggalkan dirinya, tetapi bagaimana aku bisa
meninggalkan Tuhan? (hal 162)
“Pria itu seperti bait keenam puluh dalam
nadham Alfiyah, isim dhamir mustatim wujud, yang tidak mezhahirkan lafazhnya. Pria
itu tidak pernah menzahirkan-membuka-hatinya kepada siapapun.” (hal 165)
Baca reviewnya ,jadi ikut deg deg deg -an
ReplyDeleteJadi pingin baca
Baca reviewnya seru bgt bun
ReplyDeleteJadi, endingnya gimana nih mba? Saya jarang baca novel soalnya. Sebulan baca novel blm tentu selesai kecuali kalau pas niat banget..hehe
ReplyDelete